Selasa, 10 Februari 2015

MENGENAL PPNS

kespeltbhn - Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau biasa disingkat dengan PPNS, adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang – undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana sesuai undang – undang yang menjadi dasar hukumnya masing – masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Polri ( Korwas PPNS ).

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang–undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Adapun kedudukan maupun eksistensi PPNS dalam sistem peradilan pidana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 

Selain itu terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 UU No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian merupakan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Serta dapat pula diketemukan dalam masing-masing Undang-Undang yang menjadi dasar hukum PPNS melakukan penyidikan. Misalnya dalam Pasal 89 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang menegaskan bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Merek.


Sehingga dapat dikatakan bahwa PPNS merupakan penyidik, disamping penyidik POLRI yang memiliki kedudukan serta berperan penting dalam melakukan penyidikan, dalam kaitannya menegakkan hukum pidana. Adapun PPNS mendapatkan kewenangan untuk menyidik berdasarkan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya, sehingga penyidikannya terbatas sepanjang menyangkut tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Berdasarkan Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya tersebut, PPNS dapat dibentuk lingkungan instansi pemerintahan tertentu, seperti: instansi Bea Cukai, Imigrasi, Kehutanan, Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, Kemenkes dan sebagainya. Sehingga jika dilihat lebih lanjut dari segi kelembagaan, PPNS bukan merupakan subordinasi dari lembaga kepolisian yang merupakan bagian dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Sebagaimana diketahui bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia mengenal 5 (lima) institusi sub sistem peradilan pidana sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002), Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986), Lembaga Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun 2003).3 Walaupun PPNS diberikan kewenangan menyidik sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya, namun, keberadaan PPNS di luar subsistem peradilan pidana, tidak boleh mengacaukan jalannya sistem peradilan pidana yang telah ada dan diperlukan suatu ketentuan yang mengatur bagaimana cara penyidikan yang dilakukan PPNS agar tidak menimbulkan tumpang tindih dengan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik polri, yang merupakan bagian dari subsistem peradilan pidana. Mengenai hal tersebut, di dalam KUHAP sebagai telah mengatur bagaimana cara penyidikan yang dilakukan oleh PPNS agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penyidikan dengan penyidik polri, antara lain:

1. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah
koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri).
2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang
diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP).
3. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP).
4. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP).
5. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah
dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP). Sehingga dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa PPNS dalam
menjalankan tugasnya sebagai penyidik harus berkoordinasi dengan penyidik Polri sebelum melakukan penyidikan agar terjadi kesinkronan atau kesatuan pemahaman serta gerak serta tindakan apa yang dilakukan dalam melakukan penyidikan dan oleh karenanya, penyidik polri harus berperan aktif dalam memberikan bantuan serta petunjuk kepada PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik. Dengan demikian, dengan adanya sinkronisasi dan pengawasan dari penyidik Polri, diharapkan tidak menimbulkan suatu permasalahan dengan sistem peradilan pidana yang ada, yakni dalam hubungannya dengan penyidik polri. 

Demikian informasi singkat ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.bdt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar